Selamat Datang !

Silahkan Membaca dan berkomentar di blog ini
BEBAS !!!

17 Juni 2009

PESTA DI DALAM KELAS

Hari-hari menjelang UAS banyak dosen tidak masuk kelas disebabkan materi mata kuliah sudah selesai. Momen ini dimanfaatkan oleh mahasiswa dan mahasiswi STIT Brebes semester 2 kelas A mengadakan pesta kecil-kecilan di kelas. Di bawah ini rekaman pesta kelas yang meriah. " Eh ada yang kelolodan rujak loh!" Lihat aja disini !

Sambil ngerjain tugas kuliah di kelas, asyiknya ya sambil makan-makan




Bagaimana Komentar anda ????????????????????????????????!


14 Juni 2009

Pendidikan sebagai Proses Pembudayaan 3

1. Proses Pendidikan dalam Ranah Pendidikan Nilai
Gambaran tentang orang Indonesia yang ramah, berbudaya, dan berbudi pekerti luhur telah memudar. Kesan yang muncul adalah kekerasan, dan tindakan tidak manusiawi terjadi hampir di seluruh pelosok negeri dan berlangsung dalam waktu yang lama. Tudingan ini lebih tertuju pada kegagalan pendidikan nilai yang dibina pada tiap lembaga pendidikan. Bahkan dengan tegas Timo Teweng (Bali Post, 13/9/2005) mengklaim, merebaknya gejala seperti ini akibat kegagalan dalam menumbuhkan pendidikan nilai.


Pendidikan sebagai proses alih nilai mempunyai tiga sasaran. Pertama, pendidikan bertujuan untuk membentuk manusia yang mempunyai keseimbangan antara kemampuan kognitif dan psikomotrik di satu pihak serta kemampuan afektif di pihak lain. Dalam hal ini dapat diartikan, pendidikan menghasilkan manusia yang berkepribadian, tetap menjunjung tinggi nilai-nilai budaya yang luhur, serta mempunyai wawasan dan sikap kebangsaan dan menjaga serta memupuk jati dirinya. Dalam hal ini proses alih nilai dalam rangka proses pembudayaan.
Kedua, dalam sistem nilai yang dialihkan juga termasuk nilai-nilai keimanan dan ketaqwaan, yang terpancar pada ketundukan manusia Indonesia untuk melaksanakan ibadah menurut keyakinan dan kepercayaan masing-masing, berakhlaq mulia, serta senantiasa menjaga harmoni hubungan dengan Tuhan, dengan sesama manusia dan dengan alam sekitarnya. Dalam kaitan ini konsep Tri Hita Karana dikumandangkan. Implementasi alih nilai dalam proses merupakan proses pembinaan imtaq.
Ketiga, dalam alih nilai juga dapat ditransformasikan tata nilai yang mendukung proses industrialisasi dan penerapan teknologi, seperti penghargaan atas waktu, etos kerja tinggi, disiplin, kemandirian, kewirausahaan dan sebagainya. Dalam hal ini, proses alih nilai merupakan proses pembinaan iptek.
2. Pentingnya Pendidikan Budi Pekerti
Menyikapi secara kritis begitu pentingnya menumbuhkembangkan pendidikan nilai, pendidikan budi pekerti perlu dikembangkan atau diperkokoh tidak lain karena merupakan konsukuensi logis dari keberadaan (eksistensi) serta hakikat manusia sebagai makhluk sosial dan makhluk berbudaya. Sebagai makhluk sosial dan makhluk yang berbudaya, manusia berada pada jaringan interaksi interdependensi dengan sesama manusia yang diatur dalam pola-pola jaringan norma yang dijabarkan dari nilai yang hidup serta beroperasi di satu kelompok masyarakat. Sistem pendidikan harus berpedoman pada seperangkat aturan dan pengaturan, yang memang dirancang demi pendekatan sistemik dan bukan untuk disiasati melalui pendekatan perseorangan.
Pendidikan budi pekerti tidak bisa lepas dari sistem nilai yang dimiliki oleh masyarakat serta proses internalisasi nilai untuk melestarikan sistem nilai tersebut. Proses internalisasi nilai itu sendiri tidak lain dari salah satu aspek dari substansi proses pendidikan dalam arti luas. Dengan demikian pendidikan budi pekerti terkait dengan proses pendidikan baik yang berlangsung di keluarga (bagian dari isi pola asuh), di masyarakat (bagian dari interaksi sosial), maupun di sekolah (bagian dari proses pendidikan formal). Atas dasar ini pendidikan budi pekerti menumbuhkan sikap serta perilaku sehari-hari yang mencerminkan sistem nilai yang hidup di suatu masyarakat. Dengan demikian pengembangan pendidikan budi pekerti juga merupakan pengembangan budaya dan nilai-nilai luhur budaya bangsa.
Uraian singkat di atas, memberikan gambaran dalam pendidikan keluarga dan masyarakat, proses interaksi peserta didik yang menyangkut nilai tambah keyakinan, sikap, budi pekerti dan perilaku berlangsung secara lebih intensif, terutama dalam proses pembudayaan dan pembinaan imtaq. Hal ini dimungkinkan karena dalam kedua lingkungan pendidikan tersebut, proses alih nilai dapat berlangsung lebih intensif dengan adanya proses pembiasaan dan peneladanan (percontohan). Pembinaan sikap dan perilaku dialami peserta didik dalam kehidupan sehari-hari dalam lingkungan keluarga maupun masyarakat. Sementara percontohan dapat dilihat langsung dari sikap dan perilaku orang tua maupun tokoh masyarakat (formal maupun non formal).
Pembinaan imtaq dan pembudayaan pada dasarnya meliputi pembinaan terhadap keyakinan, sikap, perilaku dan budi pekerti dan nilai-nilai luhur budaya bangsa. Kesemua aspek tersebut dapat berkembang apabila ada pemahaman dan wawasan keagamaan dan budaya yang diperoleh dari proses alih pengetahuan, serta internalisasi nilai-nilai keagamaan dan budaya yang diperoleh dari proses alih nilai. Dalam lingkungan keluarga dan masyarakat proses alih nilai berlangsung secara lebih berkesinambungan sehingga interaksi berlangsung secara lebih efektif dibandingkan yang terjadi di dalam kelas. Di samping faktor pembiasaan dan peneladanan di atas, pembinaan imtaq dan pembudayaan dalam keluarga juga akan lebih berhasil karena adanya penghayatan terhadap nilai-nilai agama yang melahirkan keyakinan, sikap, perilaku dan budi pakerti dan akhlak seperti di atas.
3. Model Pendekatan Pendidikan sebagai Pembudayaan
Dalam pembinaan budi pekerti di sekolah, sering ditemukan dua model pendekatan dalam penanaman nilai-nilai imtaq dan pembudayaan. Pertama, pendekatan struktur-kuantitatif, pendekatan yang menitikberatkan pada satuan subjek dan jam belajar. Kedua, pendekatan fungsional kualitatif, yaitu pendekatan menitikberatkan pada substansi kegiatan belajar mengajar sebagai wahana proses alih nilai. Pendekatan pertama biasanya mengusulkan adanya mata pelajaran khusus dan jam pelajaran memadai, sementara pendekatan yang kedua lebih pada intensitas pendidikan nilai (budi pekerti, agama, lingkungan, wawasan kebangsaan, dan sebagainya) pada setiap mata pelajaran yang ada secara integrative dan proporsional.
Terlepas dari kontroversi kedua pendekatan tersebut, untuk konteks pendidikan dasar dan menengah yang jumlah subyek dan jam belajarnya yang sudah padat, maka pendekatan kedua lebih cocok untuk kita upayakan dalam rangka validasi pendidikan budi pekerti dalam wahana sekolah.
Selain itu, pelaksanaan pendidikan nilai di sekolah, sekolah perlu situasi pendidikan dan kegiatan-kegiatan yang terprogram yang membawa pendidikan nilai yang mengandung nilai-nilai luhur budaya bangsa. Menciptakan situasi sekolah yang memungkinkan bagi siswa untuk menyaksikan dengan mata kepala sendiri, mengetahui dengan pengertian yang benar, serta mengalami sendiri bagaimana nilai-nilai itu dihayati dan direalisasikan dalam kehidupan sehari-hari.
Mampukah pendidikan budi pekerti menjembatani penanaman pendidikan nilai? Walaupun pendidikan budi pekerti sudah diajarkan di sekolah dan di lembaga pendidikan lainnya, pelajaran pendidikan budi pekerti ditempatkan sebagai wahana pembelajaran kognitif akan nilai-nilai. Pelajaran budi pekerti tidak dapat semata mata diandalkan untuk pendidikan nilai. Paul Suparno, SJ, pakar pendidikan dari Universitas Sanata Dharma Yogyakarta mengusulkan, sebaiknya pelajaran budi pekerti dikelola oleh guru yang mempunyai kompetensi, sehingga dalam kadar tertentu hasilnya dapat menyentuh ke aspek psikososial dan penalaran moral.

Pendidikan sebagai Proses Pembudayaan 2

1. Visi Pendidikan Nasional
VISI pendidikan nasional adalah terwujudnya sistem pendidikan sebagai pranata sosial yang kuat dan berwibawa untuk memberdayakan semua warga negara Indonesia berkembang menjadi manusia yang berkualitas sehingga mampu dan proaktif menjawab tantangan zaman yang selalu berubah. Untuk menggapai tercapainya visi ini, ditetapkan serangkaian prinsip penyelenggaraan pendidikan untuk dijadikan landasan dalam pelaksanaan reformasi pendidikan.

Salah satu prinsip yang ditetapkan adalah pendidikan diselenggarakan sebagai proses pembudayaan dan pemberdayaan peserta didik yang berlangsung sepanjang hayat. Implikasi dari prinsip pendidikan sebagai proses pembudayaan terjadi pergeseran paradigma dari pengajaran menjadi pembelajaran, yaitu interaksi peserta didik dengan guru dan sumber belajar pada suatu lingkungan belajar. Agar mencapai hasil yang optimal proses pembelajaran harus direncanakan, dilaksanakan secara fleksibel, bervariasi, interaktif, inspiratif, menarik, dan menantang siswa untuk berpartisipasi aktif serta memberikan ruang yang cukup bagi siswa untuk berkreasi dan berimprovisasi dalam proses pembelajaran. Dari dasar inilah maka lahir Peraturan Menteri Pendidikan Nasional (Permendiknas) nomor 41 tahun 2007 tentang standar proses untuk satuan pendidikan dasar dan menengah.
Standar proses meliputi perencanaan, pelaksanaan, penilaian, dan pengawasan proses yang efektif dan efisien. Dalam proses perencanaan guru dituntut membuat silabus, rencana pelaksanaan pembelajaran (RPP). Sedang untuk pelaksanaan ditentukan tentang persyaratan pelaksanaan proses, pelaksanaan pembelajaran dan diukur melalui penilaian. Rangkaian proses akan berjalan dengan baik bila dilengkapi pengawasan yang terwujud dalam pemantauan, supervisi, evaluasi, pelaporan dan tindak lanjut. Melalui sederet aktivitas ini diharapkan proses pembelajaran akan efektif, efisien dan mampu menggapai visi pendidikan yang telah dicanangkan.
2. Pendidikan dan Kebudayaan
Proses belajar dapat terjadi di mana saja sepanjang hayat. Sekolah merupakan salah satu tempat proses belajar terjadi. Sekolah merupakan tempat kebudayaan, karena pada dasarnya proses belajar merupakan proses pembudayaan. Dalam hal ini, proses pembudayaan di sekolah adalah untuk pencapaian akademik siswa, untuk membudayakan sikap, pengetahuan, keterampilan dan tradisi yang ada dalam suatu komunitas budaya, serta untuk mengembangkan budaya dalam suatu komunitas melalui pencapaian akademik siswa.
Budaya, menurut E.B. Taylor (1871) merupakan “a complex whole which includes knowledge, belief, art, law, morals, customs, and any other capabilities and habits acquired by man as a member of society”. Sementara itu, ada lagi definisi yang menyatakan bahwa budaya adalah pola utuh perilaku manusia dan produk yang dihasilkannya yang membawa pola pikir, pola lisan, pola aksi, dan artifak, dan sangat tergantung pada kemampuan seseorang untuk belajar, untuk menyampaikan pengetahuannya kepada generasi berikutnya melalui beragam alat, bahasa, dan pola nalar. Kedua definisi tersebut menyatakan bahwa budaya merupakan suatu kesatuan utuh yang menyeluruh, bahwa budaya memiliki beragam aspek dan perwujudan, serta budaya dipahami melalui suatu proses belajar.
Dengan demikian, belajar budaya merupakan proses belajar satu kesatuan yang utuh dan menyeluruh dari beragam perwujudan yang dihasilkan dan atau berlaku dalam suatu komunitas. Mata pelajaran yang disuguhkan dalam kurikulum dan diajarkan kepada siswa di sekolah, sebagai pola pikir ilmiah, merupakan salah satu perwujudan budaya, sebagai bagian dari budaya. Bahkan, seorang ahli menyatakan bahwa kemajuan teknologi dan ilmu pengetahuan mencerminkan pencapaian upaya manusia pada saat tertentu berbasiskan pada budaya saat itu.
Proses pembudayaan terjadi dalam bentuk pewarisan tradisi budaya dari satu generasi kepada generasi berikutnya, dan adopsi tradisi budaya oleh orang yang belum mengetahui budaya tersebut sebelumnya. Pewarisan tradisi budaya dikenal sebagai proses enkulturasi (enculturation), sedangkan adopsi tradisi budaya dikenal sebagai proses akulturasi (aculturation). Kedua proses tersebut berujung pada pembentukan budaya dalam suatu komunitas.

3. Peran Pendidik Dalam Proses Pembudayaan
Sehebat apapun isi kurikulum, faktor guru tetap yang paling menentukan keberhasilan pendidikan. Menyimak tuntutan standar proses yang ideal, guru memang telah melangkah membuat perencanaan dalam bentuk silabus dan RPP. Mayoritas pembuatannya secara rombongan melalui ajang pertemuan guru tingkat kabupaten/kota atau tingkat musyawarah guru mata pelajaran tingkat sekolah. Mengingat pembuatannya secara bersama-sama, maka guru ada yang aktif dan pasif sama sekali. Guru pasif ini yang terpenting mendapat hasil tentang rencana pendidikan. Meskipun tidak mudheng, yang terpenting mereka memiliki.
Dari gambaran ini tampak jelas bahwa secara kasat mata mayoritas guru memiliki perencanaan pembelajaran. Namun apakah guru yang bersangkutan paham atau tidak, sampai saat ini belum ada penelitian yang melaksanakan. Padahal perencanaan proses akan terkait erat dengan pelaksanaan penilaian.
Pelaksanaan proses menyangkut tentang persyaratan proses di antaranya ketentuan tentang jumlah maksimal peserta didik setiap rombongan belajar. Secara ideal rombongan belajar jenjang SD/MI 28 peserta didik, SMP 32 peserta didik, SMA/SMK/MA juga 32 peseta didik. Standar ini mayoritas tidak digubris oleh pelaksana tingkat satuan pendidikan. Dengan dalih kecilnya jumlah sumbangan baik SD, SMP dan SMA, mayoritas sekolah belum taat ketentuan ini. Banyak ditemukan rombongan belajar SD 50 siswa, SMP, SMA mencapai 38 atau bahkan ada yang 40 siswa.
Fakta ini menggambarkan bahwa standar proses pendidikan selama ini belum memenuhi syarat yang ditentukan. Kondisi ini diperparah lagi dengan ketentuan kerja minimal guru, buku teks pelajaran dan pengelolaan kelas. Belum banyak rasio buku teks untuk peserta didik 1: 1 per mata pelajaran. Bahkan sarana buku di perpustakaan masih sangat jauh dari cukup dengan kebutuhan siswa. Menyangkut tentang penilaian hasil pembelajaran belum banyak penilaian dilakukan secara konsisten, sistematik dengan menggunakan tes dan nontes, pengamatan kinerja, pengukuran sikap dsb.
Potret buram ini banyak melanda dalam praktik pendidikan selama ini. Bila hal ini tidak mendapat solusi yang bijak, tampaknya proses pendidikan tidak akan maksimal dan terkesan hanya asal jalan dan apa adanya. Anehnya lagi keberhasilan proses hanya semata-mata diukur berdasar keberhasilan ujian nasional saja. Akibatnya banyak dijumpai siswa lebih percaya pada bimbingan belajar dan meremehkan guru di kelasnya.
Selama ini pengawasan proses pembelajaran juga belum berjalan secara optimal. Peran pengawasan baik melalui pemantauan, suervisi, evaluasi, pelaporan dan tindak lanjut baik oleh kepala sekolah maupun pejabat pengawas belum maksimal. Banyak kepala sekolah yang sibuk dengan dirinya sendiri sehingga tidak ada waktu untuk supervisi dan evaluasi proses pembelajaran. Akibatnya guru hanya berjalan seadanya tanpa motivasi yang berarti. Peran pejabat pengawas juga belum optimal, selama ini terkesan jabatan ini hanya menara gading di kantor dan kurang memberi pantauan.
Proses pendidikan memerlukan sinergitas kompak antara guru, siswa, kepala sekolah, sarana pembelajaran dan suasana kondusif lingkungan pendidikan. Selama komponen ini tidak dimaksimalkan proses pendidikan satuan pendidikan tidak akan mencapai sasaran yang diidam-idamkan. Peran kepala sekolah sangat strategis dalam menggerakkan lokomotif satuan pendidikan. Bila sang masinis pengendali loko sibuk sendiri dan kurang memberi servis, pengawasan dan sentuhan kasih sayang pada kru kereta tampaknya laju kereta akan lambat.
Proses pembudayaan enkulturasi biasanya terjadi secara informal dalam keluarga, komunitas budaya suatu suku, atau komunitas budaya suatu wilayah. Proses pembudayaan enkulturasi dilakukan oleh orang tua, atau orang yang dianggap senior terhadap anak-anak, atau terhadap orang yang dianggap lebih muda. Tata krama, adat istiadat, keterampilan suatu suku/keluarga biasanya diturunkan kepada generasi berikutnya melalui proses enkulturasi.
Sementara itu, proses akulturasi biasanya terjadi secara formal melalui pendidikan. Seseorang yang tidak tahu, diberi tahu dan disadarkan akan keberadaan suatu budaya, kemudian orang tersebut mengadopsi budaya tersebut. Misalnya, seseorang yang pindah ke suatu tempat baru, kemudian mempelajari bahasa, budaya, kebiasaan dari masyarakat di tempat baru tersebut, lalu orang itu akan berbahasa dan berbudaya, serta melakukan kebiasaan sebagaimana masyarakat di tempat itu.
Pendidikan merupakan proses pembudayaan, dan pendidikan juga dipandang sebagai alat untuk perubahan budaya. Proses pembelajaran di sekolah merupakan proses pembudayaan yang formal atau proses akulturasi. Proses akulturasi bukan semata-mata transmisi budaya dan adopsi budaya, tetapi juga perubahan budaya. Sebagaimana diketahui, pendidikan menyebabkan terjadinya beragam perubahan dalam bidang sosial budaya, ekonomi, politik, dan agama. Namun, pada saat bersamaan, pendidikan juga merupakan alat untuk konservasi budaya, transmisi, adopsi, dan pelestarian budaya.

Pendidikan sebagai proses Pembudayaan1

BANDAR LAMPUNG (Lampost): Pendidikan adalah sebuah proses pembudayaan. Oleh karena itu, dalam pendidikan harus mengedepankan aspek nilai-nilai positif, seperti kejujuran. Sebab, diyakini budaya yang tampil kini adalah hasil proses pendidikan bertahun-tahun yang lalu.

BANDAR LAMPUNG (Lampost): Pendidikan adalah sebuah proses pembudayaan. Oleh karena itu, dalam pendidikan harus mengedepankan aspek nilai-nilai positif, seperti kejujuran. Sebab, diyakini budaya yang tampil kini adalah hasil proses pendidikan bertahun-tahun yang lalu.
Untuk urun rembuk mencari format pendidikan berkebudayaan yang konstruktif, Fakultas Keguruan dan Ilmu Pendidikan (FKIP) Unila bekerja sama dengan Lampung Post menggelar Diskusi Pendidikan di Unila, Jumat (28-4).
Dekan FKIP Dr. Sudjarwo memandu acara yang dihadiri Prof. Bambang Sumitro, beberapa redaktur Lampung Post, dan beberapa dosen.
Mengambil tema Kesenian dan Pendidikan, diskusi membahas rendahnya kualitas hasil pendidikan. Salah satu simpulannya, buruknya kualitas pendidikan karena keringnya sentuhan seni dalam menjalankan proses pendidikan.
Dr. Sudjarwo berpendapat budaya sebagai hasil daya cipta manusia sangat dipengaruhi pendidikan. Dan pendidikan adalah upaya manusia secara sadar untuk mencapai kemandirian.
"Artinya, indikator belum berhasilnya pendidikan adalah banyaknya manusia Indonesia yang belum bisa mandiri," kata dia.
Sudjarwo juga melihat ada penyempitan makna pendidikan menjadi pembelajaran yang diartikan hanya sebagai transfer ilmu.
"Penyempitan itu bisa kita lihat dari perilaku guru yang hanya sekadar memenuhi tugas rutinnya. Yakni, mengajar," kata dia.
Sementara itu, Bambang Sumitro melihat ada tarik-menarik kepentingan untuk memengaruhi dunia pendidikan sebagai sebuah proses pembudayaan. Pertarungan ini menjadikan manusia Indonesia menemui kondisi anomi.
"Budaya lama yang adiluhung telanjur dilepas, sementara budaya ideal yang akan dicapai belum berada dalam genggaman" katanya.
Kepala Litbang Lampung Post Heri Wardoyo meneguhkan pernyataan Bambang. Menurut dia, budaya Indonesia kini sedang berhadap-hadapan dengan jurang kebangkrutan. Budaya instan yang terus menelusup ke ruang-ruang privasi membuat kebuntuan budaya berpikir.
"Kita ambil contoh budaya baca yang belum tertanam, sudah digempur budaya televisi (audio visual) yang amat menjajah anak-anak kita. Ini harus kita tolong," katanya.
Peserta diskusi yang sebagian besar dosen pendidikan sangat aktif menimpali berbagai isu yang dilontarkan. Dalam konteks pendidikan, mereka sepakat unsur seni mendidik harus menjadi perhatian institusi pencetak guru.
"Seni identik dengan pemberontakan, baik dalam konotasi positif maupun negatif. Dan pemberontakan adalah kreativitas. Oleh karena itu, jiwa guru harus dibangunkan menggali kreativitas dengan seni mengajar. Sebab, saya melihat kini guru mengajar hanya membatalkan kewajiban jam kerja," kata salah seorang peserta.
Ke depan, seorang calon guru harus mendapat pembekalan bagaimana menempatkan diri di tengah anak didiknya sebagai sosok yang kreatif dan menyenangkan. Di sinilah peran seni mendidik dan mendidik berkesenian harus diperbesar porsinya. n SDM/S-2



IQ

IQ
Sepasang Kekasih

warior

seksi

GAMBAR APIK

GAMBAR APIK
Iklan Sosro

BREBES ISLAMIC CENTER

BREBES ISLAMIC CENTER
pintu masuk